Demi kenangan yang tidak pernah dibuat-buat, ataupun cerita pagi hingga malam yang tidak pernah berujung. Jika memang rindu masih saja tak berkesudahan, mungkin bukan temu atau sapa yang diharapkan, melainkan lupa..

Atau masyarakat lebih sering menyebutnya "baby blues".

Dulu, saat aku hamil dengan segala drama pendarahan yang berujung harus full bedrest dan melakukan chek up USG per-2 minggu sekali rutin selama 9 bulan, aku berusaha tetap enjoy walau rasanya stress luar biasa tiap bangun tidur flek pendarahan tak pernah berhenti.

Dokter Widya, yang menjadi Obgynku selalu memberikan perhatian lebih dan meyakinkanku kalau bayiku sehat dan aku harus bahagia, walaupun tau kondisi kehamilanku yg saat itu juga ternyata previa minor.

Aku menanti kehadiran bayiku lahir, sama sekali tidak peduli mau normal atau SC, karena sudah kupertimbangkan segala resiko yang mungkin aku terima jika tetap ngotot mau normal.

Ketika akhirnya aku menjalani SC dan melihat bayiku pertama kali, entah kenapa aku limbung. Rasanya aneh aku sudah punya anak dan harus memastikan dia diperhatikan.

3 hari pasca lahir dan kembali ke rumah, ternyata tidak mudah membangun bonding itu. Kupikir bonding ibu dan anak akan otomatis ketika keduanya sudah bertemu, ternyata yang aku rasakan adalah aku seperti tidak mengenalnya. Bayi kecil yang selama 9 bulan ada di rahimku itu.

Hal paling berat yang aku dan bayiku lalui saat itu adalah saat pemberian ASI. Aku mencoba sebisaku dan meyakinkan diri kalau aku mampu tapi bayiku tetap menangis sepanjang malam. Bapak dan umi sampai akhirnya harus menggedor pintu rumah tetangga untuk minta sufor karena dari awal walau aku tahu ASI ku masih belum cukup, aku kekeuh tidak mau sediakan sufor. Tapi malam itu, pertahananku runtuh. Ya, di usia awal hidupnya, Nata adalah bayi sufor.

Segala upaya tetap diusahakan oleh umi, dari buatkan aku sayur katuk setiap hari, rerebusan labu, godok jamu, minum pelancar ASI. Nihil.

Aku mulai merasakan depresi itu, di rumah orangtuaku, aku sering sendirian karena semua orang sibuk dengan aktivitas hariannya. Bersyukur umi bukan tipe ibu yang kolot, beliau sengaja meminta tolong salah satu tetangga untuk menemaniku dan mengurus bayiku di rumah saat siang. 

Aku mulai masa bodo dengan anakku.

Bahkan saat malam dan bayiku menangis, umi yang berjaga menggendong dan memberikan susu setiap 2 jam sekali. Sedangkan aku?
Lebih banyak melamun dan tidur..
Umi sama sekali tidak pernah menegurku atau memojokkan aku yang bersikap seperti itu. Ia tahu, aku sedang tidak baik-baik saja. Terlebih saat melihat aku pernah menjatuhkan bayiku ke kasur dengan sengaja karena ia tidak berhenti menangis dan aku benar-benar kesal. Sejak saat itu, umi langsung ambil alih semua pengurusan bayiku. Beliau tidak marah, hanya sambil usap2 wajah dan rambutku sambil merapalkan doa.

Suamiku datang ke Depok, hampir setiap akhir pekan. Jumat datang - Minggu kembali lagi ke Bandung. Setiap ia datang, lebih seringnya aku menangis karena aku merasa capek. Bukan capek fisik, lebih ke capek pikiran dan hati. Suamiku pun sadar aku sedang tidak baik-baik saja.

Tepat 4 bulan usia Nata, akhirnya aku kembali ke Bandung. Umi menemaniku selama 3 hari untuk memastikan aku siap untuk ditinggal. Bersyukurnya, aku pindah ke kontrakan di kampung yang warganya ternyata sungguh baik luar biasa. Selama awal pindah, umi yang mengajakku keliling dan menyapa warga. Hingga aku bertemu dengan para ibu muda lain yang juga memiliki bayi seumuran Nata. Perlahan, aku sering menghabiskan waktu bersama mereka karena saat itu aku full IRT. Dan Qadarullah, ASI-ku yang sempat kering perlahan mulai banyak dan Nata beralih ke ASI dbf hingga usianya 18 bulan saat itu dan kembali lagi ke sufor saat aku mulai bekerja.
Akhirnya baru kutahu, kalau ternyata yang aku butuhkan adalah menjadi ibu yang lebih "santai", lebih banyak didengar dan tertawa.

Satu hal yang aku pelajari, bahwa PPD tidak hanya stress yang ditimbulkan dari pihak luar, dari diri sendiripun sangat besar pengaruhnya. Menjadi ibu, tidak harus selalu sempurna dan segala hal harus berjalan sesuai harapan. Pada kenyataannya, kitalah yang dituntut untuk belajar ikhlas menerima keadaan.

Aku sadar aku bukan ibu yang sempurna, tapi justru anak dan suamiku lah yang selalu mendukung dan menjadikanku ibu yang selalu penuh syukur dan bahagia.
Terima kasih aku, untuk 32 tahun yg luar biasa ini.
Sudah sejauh ini berdiri dan melangkah membawa beban yang untuk diri sendiri cukup berat, tapi berhasil diangkat, diseret bahkan tak jarang dibawa berlari sambil terseok-seok.
Kita kuat.

Untuk tahun-tahun berikutnya yang semoga masih cukup panjang, aku yakin kita siap.
InsyaAllah..

Biar rasa sedih, diabaikan, dianggap terlalu mandiri, soliter, dan hal lain yg seperti memuji tapi menguji, tidak akan menjatuhkan pun menggoyahkan kita. Aamiin.

Satu hal yang kita yakini, perasaan sepi dan kesendirian ini nantinya akan menjadi hal yang biasa. 
Juga selalu merasa cukup dengan kalimat penguatan untuk diri sendiri "Semoga Allah jaga".


Di usia yang orang lain bilang seharusnya "dewasa" pun ternyata aku masih belum sepenuhnya mengenal setiap perasaan yang timbul dari hasil 'perlakuan' orang lain terhadapku maupun dari rasa yang aku ciptakan sendiri.
Walaupun sudah cukup sering kuterjemahkan segala rasa yang timbul dengan reaksi "masa bodo", ternyata tetap saja rasa yang ditinggalkan jelas tidak bisa diabaikan. Bahkan lebih seringnya hanya sebatas penghiburan bahwa aku 'dipaksa' untuk menerima.
Bagaimana caranya untuk menerima paling mudah jika tidak tahu perasaan ini harus disimpan atau dilepaskan?
Kadang menerjemahkannya saja butuh banyak pertimbangan.
Jika ini menyulitkan harus butuh berapa lama untuk akhirnya dilepaskan.
Jika ini menyenangkan kenapa mudah sekali terlupakan.
Dan hal berisik lainnya yang lebih banyak berakhir dengan penerimaan "It's oke, gpp".

Lagi-lagi penghiburan diri menang telak saat tidak berhasil menerjemahkan.

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

                     Sapardi Djoko Damono, 1989 

Bandung, 06 Juni 2023 (17:02)

Hari ini kembali diguyur hujan setelah sempat beberapa minggu mendapat serangan panas yang cukup menyengat kota.

Tapi hujan ini tetap patut disyukuri karena setidaknya, aku lebih menyukai bau tanah yang basah dibandingan dengan debu jalanan dan juga gerutu panas saat menunggu di lampu merah.

Dan buatku, hujan di Bulan Juni selalu terasa istimewa, entah hujannya atau rindunya.


Semoga tulisanku, tak membuka luka hatimu.
.
Semoga tulisanku, hanya sebatas penghiburan dari rasa penasaran akan masa lalu.
.
Karena saat menulis tentangmu dulu, akupun begitu. Menerjemahkan rasa yang tertinggal yang seharusnya tidak untuk aku simpan.
.
Membiasakan bahwa rasa penasaran tidak selalu harus menemukan jawaban.
.
Hampir berharap, semoga tulisan itu tidak pernah ditemukan. Biar menjadi sebuah catatan saja. Bahwa aku pernah menyimpan rasa itu secara diam-diam.
.
Namun, seperti seorang pencari jejak, kamu berhasil menemukannya. Entah apa yang menuntunmu menemukannya. Ku harap itu tak akan berarti apa-apa bagimu saat ini.
.
Semoga. Akupun begitu.
Pernah terpikir, saat ada yang nyelekit di hati dan bertanya, "kenapa begini rasanya?"
Dari sekian banyak puisi dan kisah orang lain yang kubaca, "Hei, bukan hanya aku saja ya" " Oh iya, betul seperti itu rasanya."
Ternyata rasa ini mungkin universal.
Semua orang bisa saja diserang tiba-tiba.
.
Kupikir jika sudah berpemilik, rasa itu akan penuh. Tak ada ruang tersisa.

"Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu?"

Ternyata aku sendiripun, tak pernah benar-benar mengenalnya. Hatiku. Ia seperti hidup dengan caranya sendiri dan milik dirinya.

Logika sudah mengingatkan, "Hei, jangan menyimpan rasa yang nantinya akan disesali."

Tapi tetap saja, dia kekeuh. Mencari lagi, menunggu lagi, merindu lagi.

Tapi rindu ini milik siapa? Bahkan sadar ini tidak akan pernah sampai ke tuannya.

"Nanti juga sebentar lagi lupa".

Sebentar kemudian, "loh ko ingat lagi". 

Terkekeh menertawakan kelakuan sendiri, sampai tak habis pikir. "Ko bisa sih hati sendiri tidak bisa dikendalikan?"

Tanpa bermaksud membenarkan, aku hanya menganggap, "Tak apalah, toh aku tak sendiri dan semoga hanya sebatas ini kumiliki rindu yang tak bertuan".

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com tipscantiknya.com kumpulanrumusnya.comnya.com